Art by Didier Martin, www.mylittlehouse.org
0 Comments
Saya pernah mendengar kisah nyata tentang seorang wanita yang terjebak di dalam gedung yang terbakar, di lantai 80. Wanita ini takut akan ketinggian dan ruangan yang tertutup, dan ketika alarm kebakaran berbunyi, ia menolak untuk mengikuti teman-temannya menuju ke tangga untuk mengungsi ke tempat yang aman.
Petugas pemadam kebakaran memeriksa gedung dan menemukan wanita tersebut bersembunyi di bawah meja, menantikan ajalnya. Dia berteriak-teriak “Aku takut, aku takut!” ketika didesak untuk berjalan menuju ke tangga hingga salah seorang petugas mengatakan, “Tidak apa-apa, berjalan saja meskipun takut.” Ia mengulanginya sepanjang jalan hingga tiba ke lantai dasar, hingga wanita itu sudah aman. Kita semua menghadapi momen-momen seperti ini—ketika kita tahu apa yang harus dilakukan, tetapi rasa takut menahan kita. Dalam upaya untuk menonjol, Anda harus mengembangkan kebiasaan untuk bertindak meskipun merasa takut. Bukan masalah merasa takut—tetaplah melakukannya meskipun takut. Bukan masalah merasa tidak yakin—tetaplah melakukannya meskpun tidak yakin. Yang penting lakukanlah sesuatu. Tantangan yang baru bisa jadi canggung, bahkan pada mulanya menakutkan. Tetapi jika kita dengan sengaja menampatkan diri pada posisi itu dan melakukan persisnya apa yang membuat kita merasa takut, ini akan menjadi lebih mudah dan kita akan menjadi lebih mahir. Pada akhirnya kita tidak akan merasa takut lagi. Itu namanya menaklukkan ketakutan kita! Story courtesy of Activated magazine. Used by permission. Image by Vexels.com
Berilustrasi buku devosional untuk mengajarkan anak-anak berusia 4 tahun ke atas tentang nilai-nilai moral. "Amsal untuk anak-anak" akan memenangkan hati anak-anak dan juga orang tua.
Klik di sini untuk mengunduh ebook gratis (epub / mobi) Oleh Elsa Sichrovsky Pada suatu hari ketika saya berusia sembilan tahun, saya dan kakak lelaki saya pergi berenang. Saya belum belajar berenang dengan benar dan hanya bisa berenang seperti anjing kecil dan mengapung. Sedangkan kakak lelaki saya adalah perenang yang luar biasa, itulah sebabnya orang tua kami menyuruh dia untuk mengawasi saya. Pagi itu kami berdebat tentang sesuatu yang saya bahkan tidak ingat lagi, jadi saya jengkel ketika orang tua saya bersikeras agar kakak menemani. Saya bertekad untuk melakukan apa yang saya kehendaki sendiri dan bersikeras berenang sendiri. Saya mulai berenang dari ujung kolam renang yang dangkal, dan mengapung sambil berbaring beberapa saat lamanya hingga tiba-tiba tersadar bahwa mungkin saya sudah hampir tiba di ujung kolam, dan kuatir kepala saya menabrak dinding kolam renang. Berpikir bahwa saya hanya beberapa sentimeter dari tepian, saya membalikkan tubuh. Sebenarnya saya baru mencapai sekitar tiga perempat dari panjang kolam renang, tetapi saya sudah tidak bisa menjejakkan kaki di dasar kolam. Saya panik dan mulai meronta-ronta, yang mana hanya membuat air masuk ke dalam hidung dan mulut lebih banyak lagi. Tersedak dan berjuang mati-matian, saya merasa ada sepasang lengan di pinggang yang mengangkat saya ke atas permukaan air dan membawa saya ke tepi kolam renang. “Kamu baik-baik saja?” tanya kakak. Saya menggumam sambil memuntahkan air kolam, merasa malu dan berekspektansi kakak akan memarahi saya. Sebaliknya, dia menunggu tanpa mengucapkan sepatah kata pun sampai saya tenang dan kemudian membawa saya pulang. Kalau diingat-ingat, saya dan kakak tidak terlalu dekat. Kami berselisih tentang masalah-masalah terkecil, seperti siapa yang mendapat potongan roti yang lebih tebal untuk sarapan. Tetapi dengan kakak menyelamatkan saya di kolam memperlihatkan kekuatan ikatan persaudaraan kami. Terlepas dari semua perbedaan, ketika saya sangat membutuhkannya, kakak saya ada di situ. Kasih sayang kakak juga berfungsi sebagai ilustrasi tentang bagaimana Yesus, Kakak spiritual saya, adalah pertolongan yang senantiasa ada pada saat-saat sulit. Bahkan ketika dalam ketinggian hati dan keras kepala saya berpaling dari-Nya, dan berdebat tentang cara-Nya bekerja dalam hidup saya, Dia tidak membiarkan tuntutan ketinggian hati saya yang ingin bebas merdeka menghentikan-Nya untuk merangkul saya ketika berada dalam bahaya dan stres. Meskipun perasaan kita naik dan turun, kasih sayang Tuhan untuk kita tidak demikian.—C.S. Lewis (1898–1963) Story courtesy of Activated magazine. Used by permission. Image of children designed by brgfx/Freepik; background image in public domain.
|
Categories
All
Archives
July 2024
|